Ketika
saya bertanya pada anak saya mengenai cita-citanya, dia menjawab dengan spontan
“Polisi” saya terdiam, lalu saya bertanya lagi , kenapa Aa ingin jadi Polisi? .
karena polisi hebat, tugas nya nangkep penjahat
dan nolong orang-orang lemah, jawab
anakku dengan polosnya. Saya tak berkata apa – apa pada saat itu. Tapi dalam
hati saya kurang setuju dengannya setelah pengalaman buruk menimpa keluarga saya
berkenaan dengan aparat Negara tsb. Betapa tidak, sangat membekas di hati saya
, uanglah yang harus berperan demi meringankan hukuman adik saya yang saat itu
terkena kasus tawuran. Bagi orang berduit sih tidak masalah ya. Tapi bagi kami
??
Saat
hari pertama adik saya di tahan polisi, saya langsung datang dan meminta di
mediasi dengan pihak pelapor, karena saya lihat ini kasus tawuran biasa yg tidak ada korban luka
serius apalagi korban jiwa,saya fikir ini bisa di selesaikan secara
kekeluargaan. Namun pihak polisi tidak menggubris permohonan saya bahkan
terkesan menghalangi untuk berdamai. Baiklah, ini terjadi murni karena salah
kami sebagai orangtua yang tidak bisa mendidik anak sehingga anak tersebut
tumbuh menjadi anak remaja yang suka tawuran, tapi saya rasa setiap elemen
masyarakat juga punya peran untuk meminimalisaisi hal ini . Kasuspun berlanjut
hingga kami harus mencari pinjaman kesana kemari demi memenuhi permintaan-permintaan
“oknum”. Yang nilainya cukup besar bagi kami.,tapi mungkin bagi “oknum” yaaa
gak seberapa. Ketika adik saya
mendapatkan penangguhan penahanan, salah satu family saya menganjurkan “kabur”
saja. Ini kasus kecil kok ujarnya,
polisi juga nanti males nyari. Tapi saya menentang, karena saya ingin
mengajarkan pada adik saya tanggung jawab pada setiap masalah yang telah dipilihnya,
bukan lari seperti pengecut.
Setelah
kasus naik ke kejaksaan , di sana juga tawaran atau lebih tepatnya permintaan berseliweran,
mulai dari tawaran meringankan tuntutan, meringankan putusan hingga
menakut-nakuti beratnya hukuman yang akan adik saya rasakan yang menurut mereka
adik saya terkena pasal berlapis, bila
tidak dipenuhinya permintaan yang nilainya
lumayan membuat kami menelan ludah. Adik saya tidak sendiri, ada
beberapa temannya yang terlibat juga, dan kondisi keluarganya lebih parah,
menjual bengkel tempat satu-satunya usaha demi meringankan anaknya dalam jeruji
besi, bahkan salah satu ibu dari teman adik saya menderita depresi berat karena tak tega
melihat anaknya diperlakukan seperti penjahat. Khabar terakhir, sang ibu wafat
karena sakit yang berkelanjutan padahal kasus sudah selesai.
Apalah
kami ini yang buta hukum dan ekonomi minim “Ah
biasa bu, uang segitu mah tak seberapa, saudara saya kena kasus narkoba ,
sampai habis-habisan lho bu, jual tanah jual rumah” .. komentar seorang
jaksa cantik dengan mimik muka ceria tanpa rasa iba, duhai, wajahmu yang cantik
ternyata menipu pandangan. Hatimu seperti monster buas siap memangsa cacing tak
berdaya. Awalnya jaksa cantik tersebut mengira saya wartawan, hati-hati dia
menyebutkan sejumlah uang yang diinginkannya, istilahnya untuk setiap meja yang
dilewati dia harus permisi dengan amplop yang akan kami berikan. Ketika itu
saya tidak setuju memehuni permintaan jaksa tersebut, rasanya semakin dalam
saja praktik suap-menyuap ini,. Tapi keluarga saya mendesak, mengingatkan kembali kondisi ibu saya yang saat itu labil
dan rapuh karena kasus ini, lalu saya pun menyerah. Apapun demi meringankan beban
ibu saya , akhir nya saya berikan juga meski tidak senominal dengan yang mereka
minta. Dengan mimik kecewa jaksa cantik tersebut juga mengatakan bahwa jangan
pernah pakai pengacara dari LBH, karena jaksa akan semakin menaikan tuntutan
hukuman, yang tadinya ringan malah akan jadi berat. Coba bisa apa kita yang
awam? Ketika itu dalam hati saya berkata, Yaa Alloh ampuni hamba telah
bersekongkol dengan mereka, Ya Alloh jangan!….jangan sampai keturunan saya kelak menjadi polisi
atau jaksa atau sebangsanya.
Menyedihkan
sekaligus geram saya melihat kelakuan mereka . Dengan seragam necis mereka,
tanpa malu-malu meminta sejumlah uang kepada kami yang lusuh dan mengenaskan
karena ‘lelah’ dengan kondisi saat itu. Lalu dimana pelayan dan pengayom?.
Setelah adik saya di vonis delapan bulan kurungan, di dalam tahananpun tak
lepas dari “bisnis” oknum, tak usahlah saya ceritakan detailenya, karena akan
semakin mengangkat luka lama. terakhir pada saat adik saya selesai menjalani
tahanannya, di pintu gerbang lapas berdiri seorang petugas dengan necis dan kelimisnya (tak lupa jaket kulit yang saya yakin berharga mahal
) dengan tanpa malu-malu pula meminta uang rokok atau bensin karena hendak
mengantar adik saya ke tempat pembinaan, padahal saya sudah menolak dengan
halus tak usah diantar, berikan saja alamatnya. Tapi petugas tersebut
mengatakan ini dan itu sehingga ya sudahlah , namun meski harus mengantar , bukan
kah itu tugas mereka ? .. masih tega kah mereka ? dengan kami yang hancur dan
habis habisan .. L
Kembali
ke soal cita-cita anak saya, tidak salah anak saya menginginkan menjadi polisi,
karena memang tugas polisi adalah melayani dan mengayomi masyarakat. Saya juga
yakin masih banyak aparat dan berbagai profesi bergengsi yang sudah saya
sebutkan diatas, mereka jujur dan
mengayomi, mohon maaf bila salah satu anggota keluarga yang membaca tulisan
saya adalah aparat atau bahkan pembaca sendiri
adalah aparat, tapi memang beginilah
kesan wajah pengayom kita di mata masyarakat. Ada peribahasa karena nila setitik rusak susu sebelanga. Dalam
kasus ini sepertinya bukan nila yang
setitik, susunya lah yang setitik, bisa
di bayangkan kan
?.
Sejenak
Saya merenung. Lalu berkata dalam hati , dimana pun kita berada dan sebagai
apapun diri kita, iman dan rasa malu adalah sebagai perisai . karena saya
seorang ibu, maka tugas kita sebagai seorang ibu adalah menyiapkan generasi
“Susu” dalam belanga yang terdapat banyak nila, hingga suatu saat susu
benar benar tampak seperti susu , tak
lagi rusak karena ulah para oknum dan rekannya yang tak bermoral. Akhirnya saya berkata pada anak saya . “Raihlah cita-cita mu sayang..jadilah pembela
orang-orang lemah “ dan dia pun tersenyum
senang. tapi.. belakangan cita-citanya berubah lagi, dia bilang dia ingin
menjadi Arsitek , lalu ingin jadi ilmuwan J, lalu berubah lagi ingin menjadi Masinis :D . “Nak,
jadi apapun dirimu kelak, jangan lepaskan iman dan rasa malumu “ . dan di
mata beningnya tersimpan beribu tanya tak mengerti.
No comments:
Post a Comment